Browsed by
Tag: Yusuf Qaradawi

Rujuklah Kepada Semua Mazhab dan Pandangan Muktabar, kerana Mereka Ulama Kita

Rujuklah Kepada Semua Mazhab dan Pandangan Muktabar, kerana Mereka Ulama Kita

Kita di nusantara kebanyakkannya agak cenderung untuk memandang serong kepada mereka yang berusaha memahami pandangan-pandangan luar Mazhab Syafie. Dan kita lebih memandang salah kepada mereka yang berpegang kepada Mazhab-Mazhab selain Mazhab Syafie, biarpun hanya kepada beberapa perkara.

Kebelakangan ini, terdapat dikalangan kita yang ahli dalam ilmu berkenaan, telah berusaha memahami bagaimana ke empat-empat Imam Mazhab mengeluarkan hukum terhadap sesuatu perkara, dengan melihat bagaimana dan apa dalil-dalil yang digunakan oleh Imam-imam ini sehingga dapat keluarkan hukum. Hingga terhasillah daripada perbincangan mendalam mereka suatu kecederungan untuk berpegang kepada pandangan-pandangan imam yang kuat biarpun ia bukan datang daripada Mazhab Imam Syafie, dan dalam masa yang sama, mereka tidak pernah merendah-rendahkan Imam Syafie serta ulama-ulamanya.

Kata Imam Syafie yang masyhur:

Apa yang saya anggap benar, mungkin juga salah; dan apa yang saya anggap salah, mungkin juga benar

Di sini, disertakan petikan daripada tulisan Yusuf Qaradawi terhadap 2 golongan besar:

Saya melihat kebanyakan para penyelidik Islam di zaman modern ini hampir-hampir terbagi dalam dua golongan:

Golongan Pertama: pandangannya disambar oleh kilauan kebudayaan barat; dan berhala yang besar ini ditakuti mereka sehingga kebudayaan itu disembahnya. Dan untuk ini mereka lakukan dengan penuh pengorbanan serta berdiri di hadapannya dengan menundukkan pandangannya dengan penuh kerendahan. Cara berfikir dan tradisi barat ini mereka jadikan sebagai suatu persoalan yang diterima yang tidak perlu ditentang dan diperdebatkan. Kalau Islam itu sesuai dengan fikiran dan tradisi barat, mereka menyambutnya; tetapi kalau bertentangan, mereka berusaha mencari jalan untuk mendekatkan, atau beralasan dan menjelaskan, atau mentakwil dan merubahnya, yang seolah-olah Islam itu diharuskan tunduk kepada kebudayaan barat, filsafat barat dan tradisi barat.

Demikian menurut apa yang dapat kami tangkap dari pembicaraan mereka tentang sesuatu yang diharamkan oleh Islam, misalnya: patung, lotre, rente (riba), free love, penonjolan anggota wanita, laki-laki memakai emas dan sutera dan sebagainya.

Dan begitu juga dalam pembicaraannya tentang sesuatu yang dihalalkan Islam, misalnya: masalah talaq dan poligami. Yang seolah-olah apa yang disebut halal dalam pandangan mereka; yaitu sesuatu yang dianggap halal oleh Barat. Dan yang dikatakan haram, yaitu sesuatu yang dianggap haram oleh Barat.

Mereka lupa, bahwa Islam itu Kalamullah (perkataan Allah), sedang Kalamullah itu selamanya tinggi; dia diikuti, bukan mengikuti, dia tinggi tidak dapat diatasi. Oleh karena itu bagaimana mungkin Allah akan mengikuti hambaNya; bagaimana pula Khaliq (pencipta) mengikuti Makhluk (yang dicipta)?

Firman Allah: “Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya langit dan bumi ini serta makhluk yang didalamnya akan rusak!” (al-Mu’minun: 71)

“Katakanlah Muhammad! Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat menunjukkan ke jalan yang benar? Katakanlah: Allahlah yang menunjukkan ke jalan yang benar. Apakah Dzat yang menunjukkan ke jalan yang benar itu yang lebih patut diikuti ataukah orang yang tidak dapat memimpin kecuali (sesudah) dia dipimpin (itu yang lebih patut diikuti)? Bagaimana kamu berbuat begitu? Bagaimana kamu mengambil keputusan?” (Yunus: 35)

Golongan Kedua: terlalu apatis, fikirannya beku dalam menilai beberapa masalah halal dan haram, karena mengikuti apa yang sudah ditulis dalam kitab-kitab, dengan suatu anggapan, bahwa itu adalah Islam. Pendapatnya samasekali tidak mau bergeser, kendati seutas rambut; tidak mau berusaha untuk menguji kekuatan dalil yang dipakai oleh madzhabnya untuk dibandingkan dengan dalil-dalil yang dipakai orang lain, guna mengambil suatu kesimpulan yang benar sesudah ditimbang dan diteliti.

Apabila mereka ditanya tentang hukumnya musik, nyanyian, catur, mengajar perempuan, perempuan membuka wajah dan tangannya dan sebagainya, maka omongan yang paling mudah keluar dari mulutnya ataupun penanya yang bergores, adalah kata-kata haram.

Golongan ini lupa etika yang dipakai oleh salafus-shalih (orang-orang dulu yang saleh), dimana mereka samasekali tidak pernah mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dalil yang mengharamkannya dengan positif. Sedang yang belum begitu jelas, mereka mengatakan: “Kami membenci”, “Kami tidak suka”, dan sebagainya. Saya sendiri berusaha untuk tidak termasuk pada salah satu dari dua golongan di atas. Saya tidak rela –demi membela agamaku– untuk menjadikan Barat sebagai suatu persembahan, sesudah saya menerima Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Rasul!

Read More Read More